Namun tanpa bermaksud underestimasi, kayaknya tak banyak yang bisa menjalani itu. Mencintai itu satu hal, dan membangun hubungan permanen dalam sebuah keluarga itu, jelas hal lain. Kekuatan cinta yang tumbuh di antara mereka, akan sangat banyak tersita untuk mengatasi dampak perbedaan itu.
Tidak seperti perbedaan lain, misalnya status ekonomi, etnis, dan strata pendidikan, yang walaupun pasti mendatangkan “kerepotan-kerepotan”, tapi jelas tidak sesensitif perbedaan agama tadi. Belum lagi berbuntut pada, akan “ke mana” anak-anak diarahkan, dan beragam persoalan “teknis” lainnya.
Bila kemudian dia “mengalah” dan mengikut agama Anda, artinya dia pindah demi Anda, jangan cepat merasa menang dulu. Anda malah telah berutang sebuah pengorbanan yang sangat besar. Dan kalau sampai Anda menyia-nyiakannya, entahlah…
Mungkin agak “lari” dari mainstream pemikiran saya yang terlihat sangat mengangungkan pluralitas dsb ya. Tapi begitulah. Jika masih bisa dicegah, misalnya hubungan itu masih pada stadium awal
pikirkanlah lagi. Prinsip “Jalani aja dulu, lihat nanti gimana” itu kadang tak bijak. Bisa saja, hubungan Anda dengannya malah lebih “sehat” jika tidak memperistri atau bersuamikan dia.

Tapi kalau memang sudah pada tahap “tak ada lagi yang bisa memisahkan kami”, berarti akan bertambah lagi satu pasangan pecinta yang membuat saya terkagum-kagum.

Itulah pendapat saya, keputusannya di tangan Anda, dan jangan biarkan siapapun mengganggu gugatnya.
0 komentar:
Posting Komentar